Menyoal Kemacetan, Polusi Udara, dan Moda Angkutan Kita
Baru-baru ini, saya berkesempatan untuk raun-raun di Jakarta. Selama di sana, saya menghabiskan waktu lebih kurang satu pekan sekadar untuk melihat-lihat bagaimana penampakan dari apa yang kita sebut-sebut sebagai "pusat dari segala pusat" itu.
Berdasarkan apa yang saya tengok, satu hal menarik dari daerah ini selain daripada budaya antrenya ialah transportasi umumnya yang bervariasi, termasuk juga pelayanan petugasnya yang enggak "kaleng-kaleng".
Walaupun aktivitas saya di sana hanya sebatas berkeliling-keliling doang, saya kira saya sepakat dengan esai buatan Ajeng Rizka dengan tajuk “Jakarta Adalah Surganya Transportasi Publik, Makanya Mending Jual Aja Kendaraan Pribadimu Itu” yang terbit di Mojok pada akhir bulan Februari lalu.
Menurutnya, asalkan kita mau meluangkan sedikit waktu dan tenaga untuk berjalan kaki, kita tak perlu merasa risau ketika bepergian di Jakarta sebab transportasi umumnya yang bervariasi. Boleh dikatakan, kita tetap bisa berlalu-lalang di kota besar ini meski tak punya kendaraan sama sekali.
Bagi saya, transportasi umum––bus, angkot, dan kereta api––pastinya sangat membantu mobilitas harian masyarakat yang berasal entah dari mana saja dan sekaligus bisa dianggap sebagai sebuah solusi atas masalah macet dan polusi udara.
A. Cinta Segitiga antara Kita dengan Kemacetan dan Polusi Udara
Ngomongin kota-kota besar, kita sama-sama setuju bahwasanya kemacetan dan polusi udara memang menjadi musuh bersama. Celakanya, justru kita-kita pulalah yang menciptakannya.
Benang merah dari cinta segitiga ini tak lain dan tak bukan yakni jumlah penduduk. Dengan kata lain, kedua masalah ini tak jauh-jauh dari buah tangan aktivitas harian kita sebagai manusia.
Untuk menengok fenomena ini, kita dapat berangkat dari hubungan antara jumlah orang dengan jumlah permintaan suatu barang.
Jadi, hipotesis yang kita peroleh yaitu peningkatan volume kendaraan di jalan raya itu cenderung berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
Walhasil, disadari ataupun tidak sadari, kita sendirilah yang sebenarnya menciptakan kemacetan dan polusi udara itu. Makanya, saya menyarankan agar tak usah merepotkan diri dulu untuk mencari musababnya ke sana dan kemari jika aktivitas pribadi kitalah yang menyebabkannya.
Kedua masalah di atas untungnya masih dapat kita atasi dengan meramaikan penggunaan transportasi umum. Saya pikir, transportasi umum pada realitasnya sudah barang pasti mampu memuat lebih banyak penumpang ketimbang transportasi pribadi.
Dengan begitu, volume kendaraan yang melintas di jalanan dapat berkurang dan oleh karena itu pula jumlah emisi karbon (dari kendaraan tersebut) yang merusak kualitas udara kita juga dapat berkurang. Sementara itu, kegiatan reboisasi mesti terus kita lakukan dan bukan malah melakukan kebalikannya.
Lebih jauh lagi, bila transportasi umum itu telah menggunakan tenaga listrik, cita-cita kita untuk menghirup udara yang lebih sehat dan melihat langit yang berwarna biru terang kemungkinan besar bukan cuman angan-angan semata.
Moda angkutan semacam ini––bus, angkot, dan kereta listrik––tentunya merupakan solusi yang “two in one” sesuai dengan pepatah “sekali mendayung, dua sampai tiga pulau terlampaui”. Biar begitu, saya merasa kok kayak ada poin yang ketinggalan di dalam diskursus kita terkait persoalan ini.
B. Tukar Tempat Polusi Udara
Kita boleh-boleh saja beranggapan kalau bus, angkot, dan kereta listrik itu bisa menjadi jalan keluar yang sekali jalan dalam menyelesaikan masalah macet dan polusi udara.
Namun, apakah moda angkutan semacam ini benar-benar merupakan solusi yang sifatnya final sehingga tak ada lagi ruang untuk berdiskusi lebih lanjut? Saya sih malahan berpikirnya agak berbeda.
Bagaimana kalau energi listrik yang digunakan pada moda angkutan itu, kebanyakannya masih bersumber dari bahan bakar fosil? Apa betul yang begituan masih dapat kita terima sebagai sebuah solusi yang paling oke?
Bila demikian adanya, kelakuan kita ini terlihat sama saja seperti kita memindahkan emisi karbon dari satu tempat ke tempat yang lain, akan tetapi terkesan sedikit elok sebab disematkan istilah "bertenaga listrik".
Lantas, apanya yang elok dari hal ini? Jika Teman-Teman kepo dengan bauran energi nasional kita, silakan baca esai saya sebelumnya dengan tajuk Energi Matahari: Energi Terbarukan dengan Predikat "Anak Bawang".
Untuk itu, diskusi kita terkait transportasi listrik ini tak cukup hanya sampai di situ. Kita seharusnya juga melihat bagaimana bauran energi nasional kita, pun dengan perkembangan transisi energinya.
Apabila kita masih doyan menggunakan bahan bakar fosil dalam memenuhi kebutuhan energi listrik kita, maka menggunakan kendaraan listrik seakan-akan terkesan sia-sia belaka. Oleh karenanya, kita seyogianya melakukan transisi energi dengan cara seserius mungkin.
Lalu, hal apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa dalam membersamai transisi energi dari energi yang bersumberkan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan?
Kalau diberikan pertanyaan serupa itu, saya merasa hal termudah yang dapat kita lakukan ialah menghemat penggunaan energi listrik pribadi kita. Hal ini juga sudah pernah saya sampaikan di tulisan saya yang lalu-lalu dengan tajuk "Pembangkit Listrik Tenaga Cinta".
Bagaimana menurut Teman-Teman sekalian? Kira-kira, adakah hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengiringi kegiatan transisi energi ini kendati kita cuman sebatas orang awam?
Komentar
Posting Komentar