Pembangkit Listrik Tenaga Cinta

Pada saat ditemukannya api untuk pertama kali, saya yakin betul bahwa orang-orang di zaman itu sangat bergembira karena telah menemukan penemuan cemerlang tersebut.

Mereka riang bukan kepalang, dan mungkin juga sambil menikmati hasil buruan yang telah dipanggang.

Bila dipikir-pikir lagi, siapa gerangan yang telah menemukan teknologi bernama api ini?

Kenapa teknologi semacam ini diberikan nama api? Kenapa tidak ubi? Padahal di suku kata terakhirnya sama-sama ada huruf "i".

Hem, agaknya tak perlu diambil pusing soal begituan. Kita serahkan saja kepada pakarnya. Dengan demikian, kita telah mencegah "matinya kepakaran".

Maaf, kalau saya terkesan sok bijak.

Kita memang harus saling mengingatkan terkait pentingnya mendengarkan para pakar–bukan dari mulut influencer di media sosial, bukan pula pendapat artis top nan fenomenal.

Balik lagi ke cerita tentang api.

Selain sebagai sumber panas, api juga berguna sebagai sumber penerangan.

Teknologi paling lawas tentunya adalah api unggun, kemudian disusul lampu teplok dan lilin setelahnya.

Seiring berjalannya waktu, pola pikir masyarakat kian maju. Penemuan teknologi pun menjadi candu. 

Semua orang berlomba-lomba merangkai ide terbaru.

Khalayak yang dulunya mengandalkan api sekadar untuk menerangi diri di malam hari, kini sudah bisa menikmati alat bantu penerangan bertenaga listrik yang siap sedia menemani sepanjang hari.

Di abad ini, listrik bukan hanya digunakan sebagai sumber energi untuk menghidupkan lampu, malahan menjadi sumber energi utama bagi hampir semua teknologi di rumahmu.

Bayangkan bila mana terjadi pemadaman listrik selama satu harian, barangkali karena sedang ada pemeliharaan ataupun karena ada gangguan.

Ketika itu terjadi, boleh jadi kita akan terdiam sejenak, apalagi kalau nasi belum dimasak, cucian masih banyak plus duit sudah cekak–alamak!

Dari sini dapat dirasakan betapa banyaknya peranan listrik di dalam kehidupan praktis kita dewasa ini.

Namun, terdapat beberapa hal yang tak kalah menarik untuk dipertanyakan, yakni dari mana listrik tersebut berasal? Apakah ia dihasilkan dari sumber daya yang ramah lingkungan?

Selanjutnya, bagaimana keseluruhan prosesnya? Apakah ia betul-betul bersih dari hulu hingga ke hilir?

Mari kita ambil waktu lebih kurang 5-10 menit untuk merenung dan berpikir.


A. Melirik Jumlah Konsumsi Listrik

Jamuan utama pada hari ini akan saya mulai dari camilan sederhana yang berkenaan dengan hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah konsumsi listrik.

Camilan ini saya buat dari satu permisalan.

Pada siang yang cukup terang, diandaikan ada sebuah keluarga dengan total anggota keluarga berjumlah empat orang.

Pelbagai peralatan elektronik yang mereka gunakan yaitu kulkas, pompa air, dan televisi sebanyak satu buah, kemudian dua buah laptop, empat buah telepon genggam, tiga buah kipas angin, serta delapan buah bola lampu.

Jika di sebarang desa terdapat 100 keluarga serupa di atas, seberapa banyak jumlah energi listrik yang mereka konsumsi ketika menggunakan perangkat elektronik tersebut?

Dan jika seluruh masyarakat di suatu negara juga melakukan hal yang sama di rumahnya, seberapa banyak total energi listrik yang harus disediakan negara tersebut agar perangkat elektronik masyarakatnya dapat segera digunakan?

Tak sampai di situ, bagaimana kalau dari berjuta-juta orang itu menggunakan lebih banyak perangkat elektronik dan dengan waktu yang lebih lama?

Saya rasa tingkat kebutuhan mereka akan energi listrik cukup tinggi, bahkan sebatas untuk keperluan harian, belum lagi di sektor perindustrian.

Dari permisalan ini, kita dapat berasumsi bahwa jumlah sumber daya cadangan yang akan mereka gunakan untuk menghasilkan listrik nantinya harus ekuivalen atau lebih besar daripada sumber daya primernya.

Balik ke pertanyaan awal, apakah sumber daya yang digunakan sudah ramah lingkungan?

Mungkin, masih ada pertanyaan tambahan lainnya. Mengapa segala aktivitas manusia harus selalu memperhatikan hal-hal ekologis?

Saya pribadi berpandangan bahwa alam atau lingkungan sejatinya tidak bergantung pada kehadiran kita selaku manusia.

Di lain sisi, semua yang kita perlukan ada di alam.

Kita sangat membutuhkan oksigen yang berasal dari rimbunnya hutan, bahkan untuk minum sekalipun airnya masih diperoleh dari sungai dan pegunungan, akan tetapi bisa-bisanya kita berpikiran untuk merusaknya dengan congkak bak bangsawan yang dirasuki ketamakan.

Semenjak saat itu, lingkungan beserta ekosistemnya perlu diperhatikan, benar-benar dilestarikan.

Lalu, apa kaitannya jumlah konsumsi listrik dengan lingkungan?


B. Cinta Sebagai Sumber Energi

Cinta, cinta, dan cinta.

Cinta itu unik, manisnya bagaikan madu, bentuknya tiada yang tahu.

Kendatipun begitu, kita tidak akan berbincang lebih jauh mengenai cinta dengan definisi semacam itu.

Dan sebelum substansi tulisan ini melebar sampai tak tentu tuju, saya ingin menceritakan maksud intrinsik judul dan anak judul (bagian B) tulisan ini sehingga tetap memberikan suatu penggambaran yang hemat waktu.

Berangkat dari permukaan yang paling mendasar, kata "cinta" pada kalimat Pembangkit Listrik Tenaga Cinta dan Cinta Sebagai Sumber Energi saya rasa adalah kata yang tepat untuk mengumpamakan sumber-sumber energi ramah lingkungan.

Ada banyak sekali contoh energi yang seperti ini, salah satunya ialah energi yang bersumber dari matahari.

Dengan memaksimalkan penggunaan energi yang ramah terhadap lingkungan hidup, di saat yang bersamaan kita juga telah mencintai semua makhluk hidup: manusia, hewan, dan tumbuhan.

Ekosistem harus senantiasa dijaga agar segala aktivitas di bumi berada di dalam keseimbangan.

Jika belum dapat memaksimalkannya, dalam konteks ini untuk menghasilkan listrik, secara mandiri kita dapat mengurangi jumlah konsumsi listrik dengan menghemat penggunaan perangkat elektronik kita, setidaknya di rumah masing-masing.

Sampai di sini, muncul satu pertanyaan baru.

Bagaimana kalau energi yang sebelumnya kita anggap ramah lingkungan ternyata dalam praktiknya tidak sepenuhnya ramah lingkungan, misalnya ketika membangun ladang panel surya di hutan yang luas, tetapi hutan tersebut mesti digunduli terlebih dahulu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon