Energi Matahari: Energi Terbarukan dengan Predikat "Anak Bawang"

Matahari merupakan sebuah benda ekstraterestrial yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasil energi terbarukan.

Walaupun bintang besar ini berada di luar angkasa nan jauh di sana, akan tetapi manfaatnya (energi) boleh terasa sampai ke permukaan bumi, tak terkecuali dengan wilayah Republik Indonesia (RI).

Secara tradisional, energi matahari sejak dahulu sudah dimanfaatkan orang-orang di perdesaan untuk mengeringkan hasil tani dan menerangi ruang-ruang rumah (melalui sepetak atap transparan) kala hari terang.

Setibanya di zaman modern, energi ini kemudian didayagunakan dengan tujuan yang lebih luas, misalnya untuk memproduksi energi listrik.

Mesin konversi energi yang lazim digunakan para insinyur teknik untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik di antaranya adalah panel surya dan kolektor surya.

Sekadar informasi, teknologi serupa ini tentunya bukanlah suatu teknologi yang baru di dalam dunia perekayasaan, atau istilah lebih kerennya yaitu “engineering”.

Namun, pendayagunaan dua mesin konversi energi tersebut kalah populer dibandingkan dengan pendayagunaan mesin-mesin berbahan bakar energi fosil, setidaknya jika ditinjau dari bauran energi di Indonesia pada tahun 2023.


A. Seberapa Besar Cinta Kita kepada Energi Fosil?

Berdasarkan siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI pada tanggal 18 Januari 2024 dengan tajuk “Pemerintah Kejar Target Tingkatkan Bauran EBT” (terakhir dilihat pada tanggal 22 Mei 2024), di sana saya melihat catatan Dewan Energi Nasional (DEN) yang menunjukkan bahwa batu bara masih menduduki posisi puncak tertinggi di dalam bauran energi di Indonesia pada tahun 2023, yakni dengan persentase bauran sebesar 40,46%.

Kemudian, posisi berikutnya diduduki oleh minyak bumi dengan persentase bauran sebesar 30,18%, lalu gas bumi dengan persentase bauran sebesar 16,28%, dan yang terakhir adalah energi baru terbarukan (EBT) dengan persentase bauran sebesar 13,09%.

Tak sampai di situ saja, pada tahun kemarin, peningkatan persentase bauran EBT masih tergolong dalam jumlah yang kecil, yaitu hanya mampu menyentuh angka 0,79%, sedangkan penurunan persentase bauran batu bara tidak lebih dari 1,92%, yakni turun dari 42,38% (tahun 2022) menjadi 40,46% (tahun 2023).

Dari informasi di atas, maka dapat disimpulkan: EBT adalah sumber energi yang persentase baurannya paling rendah di dalam bauran energi nasional pada tahun 2023.

Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa kita masih bergantung kepada energi yang bersumber dari bahan bakar fosil, terutama batu bara.

Jika Anda melihat jumlah peningkatan persentase bauran EBT di tahun kemarin melalui catatan DEN di siaran pers Kementerian ESDM RI itu, saya rasa cukup sulit bagi kita untuk mencapai persentase bauran EBT sebesar 23% di dalam bauran energi nasional pada tahun 2025 nantinya.

Di sisi yang lain, saya setuju bahwa transisi energi dari energi fosil menuju EBT bukanlah tindakan yang mudah.

Di dalam prosesnya, saya kira banyak langkah yang mesti dipikirkan dan kemudian diimplementasikan dengan berbagai tahapan.

Dengan kata lain, transisi energi ini tidak bisa dilakukan secara sekaligus atau sekali jalan. Salah satu alasannya adalah karena hal ini berkaitan dengan ketahanan energi.

Oleh sebab itu, kita juga tidak dimungkinkan untuk 100% move on dari bahan bakar fosil.

Kendati demikian, bukan berarti EBT tidak bisa memiliki porsi yang besar di dalam bauran energi nasional.

Kita sangat dimungkinkan untuk mendayagunakan EBT di sektor-sektor terkecil masyarakat seperti pada sektor rumah tangga, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.

Dengan begitu, manfaat dari pendayagunaan EBT lama-kelamaan dapat dirasakan oleh masyarakat luas sekalipun tidak diterapkan melalui instalasi yang besar dan tentunya sembari mengurangi hasrat kecintaan kita terhadap energi fosil.

Berhubungan dengan hal itu, salah satu EBT yang dapat didayagunakan dengan leluasa adalah energi matahari.


B. Melirik Potensi Energi Matahari di Indonesia

Energi matahari merupakan energi yang tidak dapat habis, gratis, bersih (bebas polusi), dan sangat mudah diakses.

Bahkan ketika seluruh daratan di bumi ini dipenuhi oleh lubang-lubang tambang batu bara sekalipun, sampai-sampai hanya menyisakan satu bongkah batu bara saja, energi matahari masih tetap eksis.

Kita tidak akan bisa mendayagunakan energi ini lagi bilamana dunia telah hancur lebur—kiamat.

Lantas, sebesar apakah potensi energi matahari yang ada di Indonesia? Mari kita lirik sebentar!

Dikutip dari gambar “Potensi Energi Baru Terbarukan Indonesia” yang dipublikasi oleh Kementerian ESDM RI bersamaan dengan siaran pers pada tanggal 4 Februari 2023 dengan tajuk “Miliki Potensi EBT 3.686 GW, Sekjen Rida: Modal Utama Jalankan Transisi Energi Indonesia” (terakhir dilihat pada tanggal 22 Mei 2024), potensi energi matahari di Indonesia jika diubah menjadi listrik yaitu mencapai 3.295 GW dari potensi total EBT sebesar 3.686 GW, sedangkan jumlah pemanfaatannya (energi matahari) hanya sebatas 0,27 GW.

Seperti yang terlihat di gambar itu, diketahui bahwa energi matahari merupakan EBT dengan potensi yang paling besar dibandingkan dengan EBT lainnya, akan tetapi jumlah pemanfaatannya berada di nomor urut tiga terendah, yakni setelah energi laut dan bayu (angin) yang jumlah pemanfaatannya masing-masing sebesar 0 GW dan 0,15 GW.

Dari informasi tersebut, Anda dapat melihat bahwa energi matahari masih belum didayagunakan secara maksimal di Indonesia kendati potensi yang dimilikinya besar sekali, terlebih lagi energi ini tersedia secara cuma-cuma di alam.

Tak heran bila energi ini bisa kita berikan predikat "anak bawang", paling tidak ketika Anda membandingkan besaran potensi yang dimilikinya dengan jumlah pemanfaatannya. Mengapa demikian?

Kalau dilihat secara saksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya, persentase potensi energi matahari yakni sekitar 89% dari jumlah keseluruhan potensi EBT yang ada di Indonesia.

Angka ini merupakan nilai yang sangat besar. Potensi energi matahari di Indonesia pastinya bukan kaleng-kaleng.

Namun, yang amat disayangkan adalah persentase jumlah pemanfaatannya yang bahkan tidak sampai 0,01% dari potensi yang dimilikinya.

Berkenaan dengan hal itu, pastilah ada sesuatu hal dibalik minimnya pendayagunaan energi matahari di Indonesia.

Menurut hemat saya, beberapa latar belakangnya boleh jadi karena energi ini tidak bisa didayagunakan selama 24 jam penuh, kemudian karena besaran energinya yang tidak konstan sebab kondisi cuaca yang berubah-ubah (intensitas awan, kecepatan angin, suhu dan tingkat kelembapan lingkungan, dan seterusnya, dan seterusnya), atau mungkin karena kita memang sudah kadung cinta dengan energi fosil.

Biarpun begitu, bukan berarti energi matahari tidak bisa kita dayagunakan secara maksimal.

Berbeda halnya dengan batu baru yang dapat diperjualbelikan, energi matahari tidak begitu. Matahari tidak mungkin dieksploitasi dan kemudian dimonopoli oleh pihak mana pun.

Hebat betul kalau ada orang yang sanggup mengatakan dirinya bahwa ia adalah pemilik matahari, lengkap dengan sertifikat tanahnya.

Di sinilah letak kelebihan energi yang terpancar dari benda bulat nan terang itu.

Di dalam praktiknya, energi ini bisa didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga akan air bersih dan air panas dengan cara mengaplikasikan kolektor surya sebagai distilator dan pemanas air.

Di sektor pertanian dan juga perkebunan, Anda dapat menggunakan panel surya untuk menghidupkan pompa air.

Dengan memfokuskan pendayagunaan energi matahari secara sektoral serta mencakupi hajat masyarakat lokal seluas-luasnya, saya rasa transisi energi dari energi fosil menuju EBT akan lebih cepat terlaksana.

Walaupun energi ini tidak bisa diperdagangkan, terkecuali dengan cara menjual produk turunannya seperti mesin-mesin konversi energi beserta energi listrik yang dihasilkan, akan tetapi energi ini bisa dinikmati oleh siapa saja—negara mana saja.

Saya rasa hampir semua negara di bumi ini sudah barang pasti menerima pancaran sinar matahari.

Bila energi matahari ini didayagunakan semaksimal mungkin, negara yang dulunya hobi mengimpor bahan bakar fosil jadi tidak perlu repot-repot lagi merogoh kocek sedalam mungkin untuk membeli bahan bakar tersebut dalam jumlah yang banyak.

Hal ini berarti bahwa negara-negara yang miskin batu bara, miskin minyak bumi, dan miskin gas bumi dimungkinkan untuk mengurangi jumlah konsumsi energi fosil dan segera beralih ke sumber energi terbarukan yang tersedia gratis di alam, termasuk energi matahari yang sedang kita perbincangkan ini.

Bagaimana pun juga, dalam hal energi, manusia agaknya memang suka sekali mempersulit diri sendiri. Kok bisa begitu?

Mari kita ambil satu contoh sebagai penutup: sudah ada matahari yang teronggok di depan mata dan bisa digunakan sebagai sumber energi, eh, manusia malah repot-repot mencari daerah-daerah yang berpotensi untuk digali dan kemudian mengeruk batu baranya, menyedot minyak buminya, dan tidak lupa pula dengan gas alamnya.

Bagaimana mungkin manusia itu tidak repot? Sudah ada matahari sebagai sumber energi yang bebas polusi dan gratisan, eh, manusia malah repot-repot menggelontorkan banyak uang untuk mencari energi fosil—mengais dan mengorek-mengorek perut bumi—memanen batu bara, minyak bumi, dan gas alam.

Manusia terkadang memang begitu—suka betul membuat repot dirinya sendiri.

Komentar

  1. While the Sun is a vast and powerful source of energy, there are several reasons why we cannot harness 100 percent of the energy coming from the Sun:
    1. Distance and Intensity: The energy from the Sun is distributed over a vast area and only a fraction of it reaches the Earth. Even at the distance of Earth from the Sun, only a small portion of the Sun's total energy output actually reaches our planet. This limits the amount of energy we can capture.

    2. Atmospheric Interference: The Earth's atmosphere absorbs and scatters a portion of the sunlight that reaches the Earth's surface. This reduces the amount of solar energy that can be harnessed effectively.

    3. Day and Night Cycle: Solar energy is only available during the day when the Sun is shining. This means that there are periods, such as at night or during cloudy weather, when solar energy cannot be collected.

    4. Weather Variability: Weather conditions such as clouds, rain, and storms can reduce the amount of sunlight reaching solar panels, affecting the efficiency of solar energy systems.

    5. Efficiency of Solar Technology: Even the most efficient solar panels available today are not able to convert all of the sunlight they receive into usable energy. There are losses in the conversion process due to inefficiencies in the technology.

    6. Storage Challenges: Storing large amounts of energy generated from solar power for use when the Sun is not shining is a significant challenge. Battery technology is improving, but it is still not perfect and can be expensive.

    While we cannot harness 100 percent of the energy coming from the Sun, solar power remains a valuable and renewable energy source that can play a significant role in reducing our reliance on fossil fuels and mitigating climate change. Advances in technology and energy storage solutions continue to improve the efficiency and effectiveness of solar energy systems.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Firstly, I would like to thank you for your opinion. I think we have the same desire: maximizing the utilization of solar energy. Therefore, I suggest using solar energy in all activities, even if it isn't through advanced technology.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon