Ulas Jurnal Vol. 1

Mengulas teksbuku, artikel, jurnal penelitian, majalah, dan sebagainyaberarti pula mencoba memahami teks tersebut secara mendalam. Dengan kata lain, si pembaca mesti merepotkan dirinya sendiri sekadar untuk berdua-duaan dengan teks tertentu.

Bagi saya pribadi, kegiatan ulas-mengulas ini merupakan bentuk apresiasi sederhana saya terhadap sebuah karya tulis, tak terkecuali dengan penulisnya.

Melalui tulisan berlabel "Ulas Jurnal" ini, saya akan mengulas berbagai jurnal penelitian atau teks sejenisnya yang membahas energi baru dan terbarukan (EBT).

Saya harap, aktivitas literasi semacam ini setidaknya dapat menjadi satu model pendekatan alternatif untuk menemukan sedikit celah-celah pengembangan dalam penelitian terkait yang boleh jadi bisa dilakukan di masa mendatang.

Walhasil, semangat transisi energi dari energi yang bersumberkan bahan bakar fosil menuju EBT berkesempatan menghampiri siapa pun dan di mana pun.

Di samping itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para pakar, peneliti, dan praktisi yang sudah repot-repot menyumbangkan isi kepalanya serta mencurahkan tenaganya dalam bentuk karya ilmiah seperti jurnal penelitian.

Kalau begitu, tanpa perlu berbasa-basi lagi, langsung saja kita menuju ke jurnal penelitiannya.


A. Menengok Potensi Energi Matahari di Kota Kendari

Jurnal pertama yang hendak saya ulas pada kesempatan kali ini ialah jurnal penelitian buah tangan Nanang Endriatno, Sudarsono, Budiman Sudia, Al Ichlas Imran, Aminur, dan Prinob Aksar dengan tajuk "Analisis Potensi Energi Matahari di Kota Kendari".

Jurnal tersebut telah dipublikasikan di Dinamika : Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, Vol. 11, No. 1, pada tahun 2019.

Sesuai dengan tajuknya, penelitian Nanang dkk. ini bertujuan untuk melihat besaran energi matahari yang ada di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga bisa dijadikan sebagai basis data terkini.

Persoalan yang mereka angkat tak jauh-jauh dari masalah ketersediaan bahan bakar fosil dalam pemenuhan kebutuhan energi umat manusia yang kian meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Saya pikir, hal ini memang menjadi persoalan umum yang sering diangkat para peneliti jika sedang membahas EBT, tentunya selain daripada persoalan emisi.

Kemudian, pendekatan yang digunakan oleh Nanang dkk. yaitu observasi langsung guna membandingkan hasilnya dengan hasil perhitungan teoretis. Mereka telah melakukan kegiatan observasi itu selama satu bulan (tanggal 130 September 2019).

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa besaran rata-rata energi matahari di Kota Kendari (Kecamatan Kambu) mampu mencapai 870,5 W/m^2, yakni pada pukul 12.00 WITA. Jumlah ini merupakan nilai rata-rata radiasi matahari global (total) tertinggi selama bulan September 2019.

Sementara itu, terdapat selisih di antara hasil perkiraan dengan hasil pengukuran yang dilakukan Nanang dkk. secara langsung.

Jadi, hasil estimasinya lebih tinggi ketimbang hasil pengukuran langsungnya sebab adanya asumsi "langit cerah" pada persamaan matematis yang mereka gunakan. Asumsi ini jelas berbeda dengan kondisi aktual langit yang tidak stabil alias cenderung berubah-ubah.


B. Celah Pengembangan

Jika kita menginginkan basis data yang lengkap terkait besaran energi matahari di suatu daerah, kita sebetulnya enggak mesti repot-repot melakukan observasi secara langsung. Mengapa demikian?

Karena, kita bisa mengetahui data tersebut berdasarkan data historis yang sudah tersedia di stasiun klimatologi terdekat. Dengan begitu, penghematan waktu dan biaya penelitian dimungkinkan untuk terjadi.

Berkenaan dengan penelitian Nanang dkk. itu, saya melihat masih ada poin yang bisa kita tambahkan di dalam penelitian selanjutnya. Kira-kira, dari aspek apa itu?

Pertama, waktu pengumpulan datanya. Pada penelitian mereka, observasi besaran energi matahari hanya dilakukan selama sebulan.

Di sisi lain, bila kita mengacu kepada data historis, kita berpeluang untuk mengumpulkan lebih banyak data dalam rentang waktu yang lama, akan tetapi dengan alokasi waktu penelitian yang minimal.

Selanjutnya, data yang dikumpulkan Nanang dkk. dalam penelitiannya itu terbatas pada satu variabel saja, yakni besaran radiasi matahari.

Akibatnya, hasil pengamatan tersebut belum cukup lengkap untuk menggambarkan potensi energi matahari di kota yang dimaksud, misalnya terkait pengaruh cuaca dan musim terhadap besaran energi yang dipancarkan pusat tata surya ini.

Oleh karena itu, dibutuhkan tambahan data yang relevan dan sekaligus mencakupi periode waktu tertentu sehingga profil energi matahari di daerah tersebut tergambarkan dengan jelas dan lengkap.

Kejelasan dan kelengkapan data ini berguna ketika besaran energi matahari sedang rendah, alhasil perangkat konversi energi yang digunakan dapat dikondisikan sesuai dengan keadaan yang dihadapi.

Lantas, bagaimana skema ideal yang bisa kita terapkan di penelitian selanjutnya? Kalau saya sih kepikiran sama analisis deskriptif berdasarkan data historis.

Cemana menurut Teman-Teman sekalian? Mari berdiskusi di kolom komentar!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon