Pemanasan Global: Dari dan untuk Kita
Sebelumnya, saya sempat menuliskan sebuah esai yang membahas tentang hubungan antara kemacetan, polusi udara, dan moda angkutan kita.
Ujung-ujungnya, esai tersebut juga saya manfaatkan untuk menyoal bahan bakar fosil dan transisi energi, serupa halnya dengan beberapa esai saya yang lalu-lalu.
Menurut saya, pembahasan-pembahasan seputar topik ini akan selalu penting selama kita masih cinta terhadap bahan bakar fosil. Oleh karenanya, isi tulisan kali ini pun tak akan jauh-jauh dari topik itu.
Namun, luaran tulisan ini tidak lebih dari bahan edukasi pribadi alias sekadar menjadi manifestasi rasa ketertarikan saya yang amat kuat terhadap energi terbarukan.
A. Dampak Negatif Penggunaan Bahan Bakar Fosil
Harus diakui bahwasanya bahan bakar fosil memang memiliki peranan penting dalam aktivitas umat manusia hingga detik ini. Peran terdekatnya yaitu sebagai sumber energi pada kendaraan bermotor dan pembangkit listrik.
Jadi, kita tak perlu pergi jauh-jauh ataupun repot-repot membaca banyak buku dan artikel jika cuman mau menengok kegunaan bahan bakar ini, contoh barangnya toh sudah ada di depan mata kita.
Meskipun demikian, bahan bakar fosil sama halnya seperti satu koin yang kedua sisinya memiliki gambar yang berbeda.
Di satu sisi, kita benar-benar bisa merasakan manfaatnya, sedangkan di sisi lainnya, kita pula yang merasakan mudaratnya. Hal inilah yang membuatnya harus terus dipersoalkan.
Merujuk pada buku "Mulai dari Sini: Memahami Transisi Energi di Indonesia" yang diterbitkan Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) Indonesia pada tahun 2023, pembakaran bahan bakar fosil––batu bara, minyak bumi, dan gas bumi––diketahui dapat menghasilkan produk pembakaran berupa gas karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4).
Emisi ini––dalam pembahasan yang ada di buku itu––merupakan bagian dari gas rumah kaca dan menjadi musabab dari persoalan pemanasan global (terjadi kenaikan suhu bumi sekitar 1°C yang dimulai pada tahun 1901 sampai dengan tahun 2020).
Tak hanya sebatas itu, CASE Indonesia kemudian menyebutkan bahwa polusi udara (hujan asam dan kabut asap) dapat dipicu oleh gas nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) yang juga termasuk ke dalam produk pembakaran bahan bakar fosil.
Lantas, kerugian macam apa yang kita terima atas terjadinya fenomena-fenomena di atas? Apa betul kalau bahan bakar ini cenderung lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya? Mari kita cari tahu sama-sama!
B. Dari Pemanasan Global sampai Perubahan Iklim
Masih mengacu pada buku terbitan CASE Indonesia itu, dampak negatif penggunaan bahan bakar fosil––pemanasan global, hujan asam, dan kabut asap––ternyata berimbas ke banyak lini kehidupan kita, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam penjelasan mereka, pemanasan global sendiri berujung pada perubahan iklim yang mengakibatkan beberapa bencana seperti badai ekstrem, kekeringan, naiknya suhu dan ketinggian (permukaan) laut, punahnya berbagai spesies, krisis pangan, hingga kemiskinan.
Berikutnya, hujan asam menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah, ketidakstabilan kehidupan ekosistem perairan (laut, sungai, danau, dan lain sebagainya), serta mempercepat proses korosi dan pelapukan pada bangunan; kabut asap bertendensi menimbulkan gangguan pernapasan (asma, bronkitis, emfisema, serta pneumonia) dan penglihatan bagi manusia.
Jika dibandingkan dengan manfaatnya, saya rasa, dampak penggunaan bahan bakar fosil cenderung merugikan kita. Okelah kalau penggunaan bahan bakar ini memang terasa manfaatnya, terlebih lagi dalam hal revolusi industri.
Biar begitu, kok kayak ada yang aneh dari kesimpulan kita ini. Emangnya, siapa yang paling diuntungkan dari revolusi industri tersebut?
Sudah barang tentu jawabannya adalah para kapitalis atau pemilik modal. Kita-kita ini, masyarakat kecil, kira-kira, dapat apa, ya? Jangan-jangan, kita cuman dapat ampas dan imbasnya doang?
Semoga saja, bukan kita-kita pulalah yang mesti lebih repot-repot memitigasi dampaknya. Bila iya, kasihan betul nasib kita ini.
Komentar
Posting Komentar