Peserta Pemilu Mesti Punya Portofolio yang Bisa Diakses Secara Daring
Belajar dari pemilu yang sudah-sudah, kita sama-sama sadar bahwa sebetulnya kita enggak tahu-tahu amat tentang profil para politisi yang sedang berkontestasi di pemilu itu, terutama dalam pileg dan pilkada.
Alih-alih mengetahui rekam jejak mereka di dunia politik ataupun di berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya, mendengar nama mereka pun rasa-rasanya kita hampir tidak pernah.
Hal ini tentunya berbeda dengan calon presiden beserta wakilnya yang cenderung menjadi perbincangan publik.
Walhasil, ketika pileg dan pilkada berlangung, masyarakat bisa saja asal memilih kandidat dan bahkan tidak memilih sama sekali sebab tidak tahu siapa yang harus dipilih.
Sekadar Memasang Baliho Saja Tidak Cukup Efektif untuk Menarik Perhatian Pemilih
Ada beberapa alasan mengapa kebanyakan peserta pileg dan pilkada itu tidak cukup akrab di telinga dan ingatan masyarakat.
Menurut saya, salah satu alasannya ialah karena kurang maksimalnya kampanye yang mereka lakukan, terlepas apakah mereka berpengalaman atau tidak.
Keadaan yang demikian sangat mungkin terjadi bilamana kampanye dilakukan dengan setengah hati atau yang penting ada.
Contohnya: sekadar menancapkan baliho di pinggir-pinggir jalan; berkeliling pasar atau singgah ke rumah-rumah warga cuma untuk “cari muka”.
Ketika kita melihat baliho-baliho mereka, tampaknya tak banyak informasi penting di sana.
Barangkali, memang begitulah tujuan baliho itu dipasang, yakni sebatas untuk memperkenalkan diri (nama, slogan, dapil, partai pengusung, dan lain sebagainya), bukan malah untuk memamerkan pengalaman dan gagasan yang dipunyai.
Akibatnya, masyarakat pemilih harus mengeluarkan tenaga lebih hanya untuk mengakses profil lengkap dan isi kepala si kandidat.
Belakangan, baliho-baliho itu kemudian berubah bentuk menjadi poster digital yang disebarluaskan melalui media sosial.
Lagi-lagi, poster tersebut juga tak memuat banyak informasi penting, minimal seperti informasi seputar sepak terjang keorganisasian serta visi dan misi mereka.
Ketiga poin ini––dalam pandangan saya––merupakan nilai jual yang seyogianya dimiliki oleh masing-masing kandidat.
Berhubungan dengan persoalan ini, saya lantas ingin membahasnya secara lebih lanjut dengan meminjam beberapa tahapan yang lazim digunakan di dalam pemasaran digital, di antaranya yaitu tahapan awareness, consideration, dan conversion.
Berdasarkan ketiga tahapan ini, boleh dibilang, upaya kampanye mereka itu masih berada di tahapan awareness. Dengan kata lain, pemilih baru sampai di tahap mengetahui kulit luar para kandidat saja.
Selanjutnya, sebelum masuk ke babak terakhir, yakni tahap conversion (tahapan ketika masyarakat memilih), terlebih dahulu para kandidat harus melewati tahap consideration.
Pada tahap kedua ini (tahap consideration), pemilih akan mempertimbangkan kualifikasi masing-masing kandidat, sedangkan para kandidat akan memamerkan nilai jualnya.
Lalu, timbul sebuah pertanyaan. Kira-kira, apa cara yang paling efektif dalam memberitahukan nilai jual setiap kandidat kepada khalayak?
Fungsi Portofolio bagi Peserta Pemilu
Dari pertanyaan di atas, menurut saya, jawabannya agaknya sudah sangat sering kita dengar. Tak lain dan tak bukan, caranya ialah dengan berdialog kepada masyarakat pemilih secara langsung dan intens, bukan malah berkeliling seadanya di dapil masing-masing.
Contoh terdekat dari gaya kampanye semacam ini dapat kita lihat pada acara “Desak Anies” kemarin. Namun, tak semua orang memiliki waktu untuk mendatangi kegiatan-kegiatan serupa itu.
Orang-orang––saya kira––punya urusan dan kesibukan tersendiri. Boleh jadi ada orang yang repot di sawah, boleh jadi pula ada orang yang sibuk di kantor.
Oleh sebab itu, saya menyarankan kepada para peserta pemilu (terkhusus pileg dan pilkada) mendatang agar menyediakan informasi terkait rekam jejak perpolitikan serta visi dan misinya melalui sebuah portofolio di suatu kanal daring tertentu.
Sejatinya, publikasi portofolio ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi yang berkaitan dengan profil para peserta pemilu.
Kemudian, jika memungkinkan, kanal portofolio tersebut juga dapat difungsikan sebagai tempat tanya jawab antara si pemilih dengan yang dipilih.
Hal semacam ini dilakukan supaya semua pemilih benar-benar mengetahui siapa-siapa saja yang pantas mewakilkannya di lembaga legislatif maupun memimpin daerah tempat tinggalnya (provinsi serta kabupaten atau kota).
Lebih jauh lagi, manfaat lain dari portofolio ini ialah bisa dijadikan sebagai ajang unjuk gigi antara politisi berpengalaman dengan politisi medioker.
Dengan demikian, para peserta pileg dan pilkada yang masih pemula dapat wawas diri setelah mengetahui pengalaman dan perjuangan peserta lainnya yang sudah lama menyelam di lautan perpolitikan tanah air.
Pada akhirnya, tak menutup kemungkinan mereka menjadi termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya di saat yang bersamaan.
Biar begitu, karena kehidupan ini adalah misteri, tentu tak segala hal yang diharapkan akan selalu sejalan dengan kenyataan.
Mereka, politisi yang pengalamannya masih seumur jagung itu, mungkin saja memiliki kecenderungan demotivasi dan malah memilih kerjaan baru dengan memulai karier selaku seorang artis atau bahkan pengusaha.
Kembali lagi, karena kehidupan ini adalah misteri, siapa pun berkesempatan menjadi apa pun. Sialnya, kriteria kita dalam memilih pemimpin belum muluk-muluk amat, berbeda halnya ketika kita hendak membeli ponsel canggih.
Maka dari itu, buat Teman-Teman yang minim sumber daya, akan tetapi memiliki ketertarikan untuk terjun bebas ke dunia perpolitikan tanah air, ada baiknya membaca esai saya sebelumnya yang bertajuk "Kiat Sukses Menjadi Calon Kepala Desa yang Oke dan Keren".
Komentar
Posting Komentar