Kiat Sukses Menjadi Calon Kepala Desa yang Oke dan Keren

Dalam beberapa waktu ke depan, kita akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak.

Momen ini merupakan kesempatan emas bagi para calon anggota legislatif yang gagal pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin untuk kembali mencalonkan diri dan segera bekerja untuk rakyat, dalam hal ini sebagai kepala daerah.

Jadi, buat Anda yang kalah di Pemilu Legislatif tahun ini, janganlah pernah merasa berkecil hati, toh masih ada Pilkada 2024.

Dan bila di Pilkada serentak nanti pun Anda tetap kalah juga, saya harap agar Anda duduk dengan tenang di ruang tamu seperti biasanya dan memikirkan peluang-peluang yang serupa.

Santai saja, Anda tetap bisa kok berkarier di ranah politik––enggak usah muluk-muluk, misalnya dimulai dari menjadi kepala desa aja dulu.

Saya rasa kepala desa juga memiliki tugas yang sama pentingnya dengan jabatan-jabatan yang lain. Mengapa demikian? Ya, karena kepala desa-lah yang mengurusi wilayah yang paling dekat dengan masyarakat, yakni desa.

Dengan  masa jabatan yang cukup lama serta dilengkapi dengan dana desa yang begitu besar, Anda sangat dimungkinkan untuk memajukan desa yang Anda pimpin secara mudah, bahkan Anda dapat melakukannya hanya dalam waktu kurang dari masa jabatan Anda.

Jika lebih lama dari itu, seharusnya desa tersebut sudah menjadi tempat yang paling apik seantero negeri.

Melalui Catatan Pendek Bagian Kesepuluh ini, saya hendak memberi tahu Anda terkait hal-hal apa yang saya rasa perlu dilakukan semisal saya ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa yang oke dan keren.

Di dalam benak saya, kepala desa yang oke dan keren ialah kepala desa yang mampu mengelola dana desa secara bijak dan transparan guna memajukan desa dan kehidupan masyarakatnya, alih-alih mengorupsi dana tersebut untuk main judi dan karaoke.

Berikut adalah kiat sukses saya seumpama saya berkeinginan untuk mendaftarkan diri di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades): turut aktif di berbagai kegiatan desa dan melakukan riset.

Saya rasa taktik yang saya wacanakan ini hampir sama dengan apa yang dilakukan politisi pada umumnya. Namun, sedemikian rupa taktik tersebut saya usahakan agar minim biaya, tentunya tanpa politik uang dan juga politik balas budi.


A. Turut Aktif di Berbagai Kegiatan Desa

Salah satu cara agar saya dapat berbaur dengan masyarakat desa dan mempelajari apa saja yang sedang terjadi di lingkungan sekitar adalah dengan mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan di desa. Kalau kata anak muda zaman sekarang, “riding the wave.”

Strategi ini bisa dibilang sebagai strategi “cari muka”. Tujuan utamanya yaitu untuk meningkatkan atensi masyarakat desa kepada saya, sehingga kehadiran dan citra saya benar-benar dirasakan mereka.

Secara mendasar, strategi “cari muka” memang perlu dilakukan. Walaupun kelihatannya seperti tidak tulus dan ada maunya, akan tetapi teknik semacam ini akan memberikan kesan tersendiri kepada warga.

Coba Anda bayangkan. Bagaimana mungkin orang-orang dapat memilih saya kalau mereka tidak tahu siapa saya dan apa saja yang pernah saya lakukan untuk desa?

Kalau saya sama sekali tidak pernah menonjolkan batang hidung saya ke masyarakat, bisa-bisa nanti saya dianggap seorang pendatang.

Saya pikir hampir tidak masuk akal ada seorang pendatang yang tiba-tiba mencalonkan dirinya menjadi kepala desa di desa yang bukan tempat kelahirannya dan bukan pula tempat tumbuh-kembangnya.

Oleh sebab itu, saya menjadikan taktik “cari muka” sebagai kiat sukses pertama saya bila ingin menjadi calon kepala desa yang oke dan keren.

Namun, ada satu poin utama yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Strategi ini mesti saya jalankan jauh-jauh hari dan berkesinambungan, bukan malah di dekat-dekat waktu pelaksanaan Pilkades.

Jika saya melakukannya di saat yang berdekatan dengan waktu tersebut, agaknya segala sesuatu yang saya lakukan untuk desa hanyalah sebatas formalitas semata untuk menarik perhatian masyarakat––tak ada ketulusan di dalam perilaku saya yang begituan.

Dengan kata lain, saya sekonyong-konyong sok akrab dengan warga desa.

Berkenaan dengan situasi itu, maka saya akan mengikuti berbagai kegiatan yang ada di desa sesering mungkin apabila ingin serius mengincar jabatan kepala desa.

Barangkali saya bisa mengikuti kegiatan-kegiatan rutin seperti ronda malam hingga acara-acara di Karang Taruna, atau boleh jadi terlebih dahulu saya akan mencicipi bagaimana rasanya menjadi ketua rukun tetangga dan lain sebagainya.

Di sisi lain, saya juga berkesempatan memberikan saran dan kritik kepada pemerintahan desa dikarenakan saya telah merasakan langsung program-program yang mereka kerjakan.

Hal ini tentunya akan memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi desa terkini––desa di mana tempat saya bermukim, sehingga saya memiliki banyak referensi yang akan membantu saya ketika menyusun visi dan misi nantinya.

Kemudian, strategi “cari muka” akan diakhiri dengan berdiskusi dengan para tetua desa.

Saya melakukan diskusi ini dengan tujuan untuk meminta masukan kepada mereka terkait gaya bermasyarakat (kapasitas) saya––apakah saya sudah pantas mencalonkan diri menjadi kepala desa atau belum.

Dari perbincangan tersebut, harapan saya yaitu memperoleh petuah dari para tetua desa yang dapat saya jadikan bahan evaluasi saya di masa mendatang, terutama yang berhubungan dengan pembangunan desa.

 

B. Riset

Untuk menciptakan visi dan misi yang bagus (bisa dicapai), maka saya akan menyusunnya berdasarkan suatu riset. Pendekatan yang saya gunakan di dalam riset tersebut ialah melalui analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, dan threat).

Riset ini saya lakukan agar kinerja saya maksimal dan tidak makan gaji buta saat telah menjabat menjadi kepala desa kelak.

Sebagai contoh, saya misalkan desa saya (Desa A) merupakan sebuah desa yang terletak di dataran tinggi, mungkin sekitar 1300 MDPL.

Komoditas masyarakat di sana berasal dari sektor perkebunan (yang pasti bukan kebun sawit) dan sektor peternakan.

Anda dapat membaca blog saya sebelumnya tentang desa dan komoditasnya guna memperoleh gambaran dasar terkait persoalan-persoalan yang akan saya sampaikan pada bagian berikut ini.

1. Analisis kekuatan (strength)

Seperti yang saya sampaikan barusan, Desa A memiliki kekuatan di sektor perkebunan dan pertanian. Kedua sektor ini merupakan sektor yang paling penting di dalam keseharian kita.

Pada sektor perkebunan, kebanyakan masyarakat di sana menanam buah-buahan, sayuran, dan teh, sedangkan sisanya aktif di sektor peternakan sebagai peternak sapi, ayam, dan juga domba.

Dari kondisi ini, kebutuhan pokok masyarakat di Desa A secara umum sudah terpenuhi bila mereka saling meniagakan masing-masing produknya di pasar.

2. Analisis kelemahan (weakness)

Selanjutnya, masyarakat Desa A diumpamakan memiliki kelemahan dalam mengoptimalkan kultivasi dan pembiakan hewan ternak mereka.

Lazimnya, masyarakat di sana hanya mengandalkan teknologi dan metode yang sudah ada sebelumnya, sehingga penggunaan alternatif-alternatif lain guna meningkatkan efektivitas ketika produksi belum banyak dilakukan.

Selain itu, produk nomor satu masyarakat di Desa A tidak lebih dari produk mentah sektor perkebunan dan peternakan. Produk-produk tersebut masih sedikit sekali yang dipasarkan dalam bentuk barang jadi.

Kendatipun sebagian kecil dari mereka sudah mulai mengolahnya (menjadikannya produk jadi), akan tetapi gaya pemasaran mereka masih belum mengikutsertakan aspek-aspek digital yang cukup serius.

3. Analisis peluang (opportunity)

Dalam melihat peluang-peluang yang ada di Desa A, terlebih dahulu saya akan memerhatikan kelemahan masyarakat di sana.

Pada uraian analisis yang kedua, saya melihat beberapa peluang yang muncul dari berbagai persoalan yang sedang mereka hadapi, misalnya seperti menanam tumbuhan yang berbeda-beda di dalam satu ladang atau kebun, kemudian bercocok tanam menggunakan metode hidroponik untuk menghemat lahan, serta melakukan optimasi terhadap bentuk kandang yang digunakan dan lain serupanya.

Lalu, peluang berikutnya yaitu mengolah produk mentah menjadi produk jadi agar nilai jualnya lebih tinggi dan memasarkannya secara digital guna meningkatkan visibilitas barang dagangan mereka.

Di lain sisi, satu atau dua lahan pertanian dan peternakan yang ada di sana juga dapat difungsikan sebagai tempat karyawisata. Hal semacam ini dimaksudkan untuk membuka peluang-peluang bisnis yang lebih luas lagi.

4. Analisis ancaman (threat)

Pada sektor perkebunan, ancaman terbesar masyarakat di Desa A dimisalkan berhubungan dengan tingginya harga pupuk dan gagal panen, sedangkan pada sektor peternakan belum mendapati ancaman yang begitu berarti.

Selain itu, kedua sektor tersebut juga sama-sama merasa terganggu dengan hadirnya tengkulak-tengkulak yang merusak harga pasar.

Berkenaan dengan ancaman-ancaman di atas, saya pikir hal ini mampu diselesaikan melalui kerja sama yang solid antara masyarakat desa dengan badan usaha milik desa (BUMDes).

Dalam mengatasi masalah tingginya harga pupuk, saya sarankan masyarakat yang memiliki kebun dan masyarakat yang beternak untuk mengolah bersama-sama limbah organiknya menjadi pupuk.

Setelah pupuk itu selesai dibuat, masyarakat desa bisa langsung menggunakannya atau menjualnya ke BUMDes. Selanjutnya, BUMDes akan mendistribusikan kembali pupuk-pupuk tersebut dengan harga jual yang normal.

Pola seperti ini seyogianya digunakan pula dalam perniagaan produk-produk yang lain agar harga jualnya di pasar tidak rusak akibat tingkah laku para tengkulak.

Adapun terkait persoalan masa panen, pemerintahan desa harus mengadakan sosialisasi serta pelatihan tentang peningkatan efektivitas saat produksi dan upaya pencegahan gagal panen.

 

C. Penutup

Berdasarkan permisalan-permisalan yang telah saya uraikan, maka saya dapat membuat satu contoh visi, yakni menjadikan Desa A sebagai sebuah desa yang mandiri secara end-to-end pada sektor perkebunan dan peternakan.

Untuk mencapai visi tersebut, maka saya akan menyusun beberapa misi seperti memberikan akses pupuk, pakan ternak, serta bahan-bahan pokok lainnya kepada seluruh masyarakat desa dengan harga yang terjangkau melalui BUMDes, kemudian menyediakan sarana pendidikan terkait kegiatan berkebun, beternak, dan berbisnis, lebih-lebih lagi hingga membangun hubungan kerja sama dengan pemerintahan kota/kabupaten dan pihak-pihak lain dalam hal kultivasi dan peternakan.

Mungkin apa yang saya sampaikan sejauh ini tampaknya begitu sederhana sekali, atau malahan saya terlihat seolah-olah sedang mengkhayal, akan tetapi kurang-lebih memang beginilah tindakan yang harus saya lakukan kalau ingin menjadi calon kepala desa yang oke dan keren.

Bagi saya, menjadi pemimpin itu berarti bahwa saya harus memiliki pengetahuan seluas daerah yang saya pimpin dan rela banting tulang untuk membangun daerah tersebut. Kalau tidak sanggup melakukannya, lebih baik saya tidak mencalonkan diri sedari awal.

Tak hanya sebatas itu, kemampuan berkomunikasi yang mumpuni juga sangat diperlukan kala seorang menjadi pemimpin. Keterampilan ini akan memudahkan saya saat bermusyawarah dengan masyarakat desa, yang pada umumnya memiliki pandangan yang berbeda-beda.

Dengan demikian, kesepakatan bersama dapat lebih mudah tercapai. Alhasil, segenap warga desa pun saling merangkul dan berkembang bareng.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon