Apakah Membuang Sampah Juga Ada Seninya?

Jika Oh Su Hyang mengajarimu dengan Bicara Itu Ada Seninya, dan Mark Manson menyadarkanmu melalui Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amatmaka pada catatan pendek kali ini saya mencoba menuliskan catatan yang di dalam judulnya juga ada kata seni-seninya.

Berbeda dengan dua buku di atas–buku yang mengandung banyak pengajaran, saya rasa hampir sulit sekali menemukan unsur kebermanfaatan pada setiap kalimat yang menyusun catatan pendek kelima ini.

Tulisan yang saya beri judul "Apakah Membuang Sampah Juga Ada Seninya?" ini berisikan telaah singkat tentang tata cara membuang sampah dan kaitannya dengan seni.

Tulisan ini berangkat dari pengamatan iseng saya terhadap gaya membuang sampah kita, tentunya keseluruhan tulisan ini tidak metodologis, apalagi mengacu kepada pendekatan akademis.

Lalu, apa hubungannya kiat sukses membuang sampah yang sudah kita anggap oke dan mantap dengan aspek-aspek estetika?

Menurut kalian, seberapa penting peranan sense of art dalam membersamai sampah agar ia diletakkan sesuai pada tempatnya?

Bila kalian masih merasa luang waktu, simak terus tulisan remeh-temeh ini sampai ke akar-akarnya!


Seni dalam Membuang Sampah

Saya telah menjumpai sebuah postulat terkait adanya hubungan antara tata cara membuang sampah dengan kesenian (secara umum) dari pengamatan sepintas harian saya.

Selama pengamatan yang saya lakukan secara iseng dan cenderung tak kritis itu, saya mengira bahwa membuang sampah ternyata juga ada seninya.

Kehadiran postulat tersebut mungkin belum disadari oleh khalayak ramai dan agaknya dibiarkan terlantar begitu saja, akan tetapi boleh jadi ia menjadi hot topic di sebarang dunia mungkin.

Agar benang merah persoalan yang tak begitu penting ini dapat ditemukan dengan segera, saya mengajak Teman-Teman semua untuk memejamkan mata dan mulai meraba-raba dalam hitungan: satu, dua, dan tiga!

***

Nah, ini dia! Benang merahnya berujung kepada dua pertanyaan yang barang kali pernah singgah di kepala kita.

Yang pertama: di zaman yang hampir seluruh elemennya dipenuhi hasrat konsumtif seperti sekarang ini, apa untungnya memikirkan sampah?

Yang kedua: apa perlunya peduli akan lingkungan, toh juga sudah ada petugas kebersihan?

Sepanjang penglihatan kalian, apakah kedua pertanyaan tadi cukup familiar?

Yes, kemungkinan besar kita pernah memiliki persepsi yang sedemikian tak acuhnya.

Sebagai contoh, saya pernah mengikuti kegiatan bersih-bersih pantai secara sukarela pada awal tahun 2022.

Kala itu, beragam sampah saya temukan di sana, tak terkecuali sampah plastik.

Namun, tetap saja sampah yang paling spesial bagi saya ialah sampah popok bayi, entah karena saya jarang melihatnya tergeletak di pasir pantai, atau entah karena apa–tak penting juga.

Menurut feeling saya, sampah semacam ini mungkin tiba di tepi pantai sebab terbawa arus laut, mungkin pula sampah orisinal si pengunjung pantai.

Dari sini, perawakan postulat yang saya jumpai mulai terkuak.

Seni memang bisa menunjang kegiatan buang sampah kita sehingga lingkungan hidup dapat lebih rapi.

Bagi saya (selaku orang awam), seni adalah segala sesuatu yang indah secara indrawi, mulai dari visual hingga aural.

Teman-Teman dapat melihat salah satu karya seni buatan saya di sini.

***

Bagaimana? Apakah buah tangan saya menarik?

Kalau tidak, lupakan saja. Okey?

Sekarang saatnya kembali ke pembahasan utama.

Dengan membuang sampah sesuai pada tempatnya, lingkungan sekitar pun menjadi bersih, indah nian berseri.

Keindahan sudah barang pasti menjadi satu kesatuan dengan gelagat berkesenian. Susah sekali mepelasnya.

Oleh karena itu, membuang sampah juga ada seninya.

Seandainya saja kalau sampah kita berserakan di mana-mana, alih-alih melihatnya, membayangkannya pun kita sudah malas–soalnya bukan suatu pertunjukan yang enak dipandang mata.

Orang-orang yang dengan sadar membuang sampah di tepian jalan kota, di tempat wisata, dan di tempat-tempat umum lainnya telah berhasil membuat kita enek.

Guram sekali orang-orang ini. Mengapa tidak? Coba kalian bayangkan sendiri.

Andaikan kalian sedang asyik di sebuah pameran karya seni sembari melihat lukisan pemandangan alam yang terbentang luas di atas kanvas berukuran besar dengan bingkai super megah.

Lalu, tiba-tiba datang seorang yang bukan siapa-siapa, bukan juga yang punya karya, dan dengan santainya mencoret secara abstrak lukisan tersebutmana jelek lagi.

Kira-kira, apa yang kamu rasakan?

Kendati lukisan itu bukan milik kalian, saya terka di dalam hati kalian pasti terbesit, "apa-apaan orang ini? Buruk betul perangainya! Serupa dengan coretannya."

Kalau kita pikir-pikir lagi, bagaimana mungkin ada orang yang sanggup mengotori karya lukis orang lain, semisal pun bisa dibersihkan, diperbaiki, atau bahkan dilukis ulang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon