Jika Tak Ada Lagi Lahan Pertanian
Di beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 November 2020, Sediksi menerbitkan tulisan opini A. Arfrian dengan tajuk “Kami Tak Mau Jadi Petani Bukan Karena Gengsi”.
Dalam tulisan itu, Arfrian berpendapat bahwa alasan mengapa anak muda enggan menjadi petani ialah justru karena menyangkut soal kesejahteraan hidupnya dan keluarganya, bukan sekadar menyangkut soal gengsi-gengsian doang.
Kemudian, ia menerangkan bahwa tak semua petani di Indonesia menikmati kehidupan yang nyaman, terutama bagi mereka yang tidak punya lahan pertanian sendiri (masih menyewa) dan bagi mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani.
Selain menjumpai persoalan seputar hasil panen yang kurang memuaskan, hama, serta hasil tani yang belum dihargai dengan harga yang pantas––dalam penjelasan Arfrian––ada juga petani yang menghadapi persoalan dalam mengakses lahan pertanian.
Belakangan, Muhammad Akbar Darojat Restu Putra mengembangkan pembahasan terkait permasalahan yang diangkat Arfrian tersebut berdasarkan pendekatan “kelas” melalui tulisan opininya yang dipublikasikan oleh Sediksi pada tanggal 9 Juni 2024.
Di tulisannya yang bertajuk “Yang Luput Dari Analisis Anak Muda Gengsi Jadi Petani” itu, Akbar menegaskan bahwa kehidupan tuan tanah atau yang disebut juga kelas petani kapitalis, cenderung lebih sejahtera ketimbang kehidupan petani yang hanya bertani di lahan yang terbatas (kelas produsen komoditas kecil), belum lagi kalau kita membandingkannya dengan nasib kelas buruh tani (petani yang tidak punya lahan dan bekerja di lahan orang lain).
Hal yang demikian ini terjadi sebab adanya perbedaan luas lahan dan jumlah hasil produksi di antara kelas-kelas tersebut.
Apabila tak ada lahan yang dapat digunakan untuk bertani––menurut pendapat Akbar di dalam tulisan opininya itu––mana mungkin anak-anak muda dapat bertani.
Oleh karenanya, ia menyarankan kepada pemerintah agar melakukan Reforma Agraria dalam artian yang sesungguhnya (pembatasan dan redistribusi lahan).
Berikutnya, Akbar menyebutkan bahwa upaya tersebut juga dapat memungkinkan kita untuk menjadi negara swasembada dan mandiri dalam hal ekonomi.
Selepas membaca tulisan opini Arfrian dan Akbar itu, lantas saya kian penasaran tentang nasib pertanian kita di masa yang akan datang.
Bagaimana kalau di kemudian hari, lahan pertanian sudah tak ada lagi di Indonesia? Apa yang bisa dilakukan agar kebutuhan pangan kita terpenuhi meskipun kita sedang berada di masa-masa yang seperti itu?
Mungkin, kedua pertanyaan tersebut terkesan terlalu pesimistis dalam mempertanyakan nasib pertanian kita.
Namun, tak menutup kemungkinan kejadian serupa itu dapat terjadi di masa depan bilamana lahan-lahan pertanian yang ada malah beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik dan proyek-proyek di luar tema pertanian, terkhusus pertanian tanaman pangan.
Dalam tulisan ini, saya pikir saya sependapat dengan opini yang dituliskan oleh Arfrian dan Akbar sebelumnya itu.
Satu persoalan penting yang mestinya kita bincangkan dengan saksama ialah permasalahan yang dihadapi petani saat mengakses lahan pertanian, bukan semata-mata menyoalkan gengsi atau semacamnya. Mengapa demikian?
Karena, lahan pertanianlah yang menjadi tempat bagi petani mencari makan dan mengupayakan kesejahteraan. Mereka, para petani, tidak hidup dari gengsi, melainkan dari berbagai aktivitas kultivasi.
Terlepas dari itu semua, yang jelas, setiap pekerjaan––pekerjaan apa pun selagi itu tidak merugikan orang lain––tentunya sama-sama bergengsi.
Di sisi yang lain, mau atau tidak mau, ketersediaan lahan untuk bertani pastinya akan berkurang dengan sendirinya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Armaeni Dwi Humaerah jauh-jauh hari juga sudah pernah menerangkannya dalam jurnal penelitiannya yang terbit pada bulan Desember 2013 di Jurnal Agribisnis, Vol. 7, No. 2 dengan tajuk “Budidaya Padi (Oryza Sativa) dalam Wadah dengan Berbagai Jenis Pupuk pada Sistem Tanam Berbeda”.
Maka dari itu, saya ingin mengajak Anda sekalian untuk membayangkan hal-hal apa saja yang mungkin kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan kita di saat tak ada lagi lahan pertanian.
A. Mengimpor Produk-Produk Pertanian
Hal pertama dan yang paling mudah dilakukan seandainya di Indonesia tak ada lagi lahan pertanian ialah membeli dan memperjualkan kembali produk-produk hasil tani dari luar negeri ke dalam negeri.
Upaya semacam ini tidaklah sulit asalkan kita mempunyai uang. Anda, kita semuanya, boleh saja tidak setuju akan banyak hal.
Namun, buat yang satu ini, kita agaknya tidak bisa tidak setuju bahwa dunia ini memang beroperasi dengan bahan bakar uang.
Andai kata kita kehabisan dana untuk mengimpor produk itu, salah satu cara yang bisa kita coba untuk mengumpulkan ulang dana tersebut yaitu dengan cara meminjamnya ke luar dan dalam negeri.
Ingat, kalau kita tidak punya uang, kita masih punya prinsip “gali lubang, tutup lubang”. Cara ini merupakan jalan pintas yang paling mudah, bukan?
Walau gampang dilakukan, saya tak menyarankan Anda untuk mengimpor bahan-pahan pangan dan kemudian berhutang ke sana dan ke mari sebab nantinya Anda akan kecanduan dan menyusahkan diri sendiri, bahkan mungkin orang lain.
Lagi pula, saat hutang-hutang itu menumpuk setinggi langit, siapa gerangan yang hendak membayarkannya? Kalau demikian adanya, bagaimana menurut Anda? Apakah solusi pertama ini cukup patut kita pertimbangkan?
B. Bertani Secara Hidroponik
Seandainya tak ada lagi lahan pertanian di Indonesia, berhidroponik dapat dijadikan solusi lain untuk memenuhi kebutuhan pangan kita.
Dengan teknik hidroponik, kita bisa menaman berbagai tanaman di mana pun, misalnya di halaman-halaman rumah dan mungkin saja sampai di atas atapnya. Bisa dibilang, hal ini memang menjadi cara bertani yang paling mungkin dilakukan ketika bumi sudah penuh sesak.
Di jurnal penelitian yang sempat saya singgung di awal, Armaeni telah menuliskan hasil penelitiannya yang berkaitan dengan cara menanam tanaman padi secara hidroponik di jurnal tersebut.
Dari penelitian itu, salah satu hasil yang ditemukan Armaeni menunjukkan bahwa menanam padi dengan teknik hidroponik memiliki potensi untuk diteliti lebih lanjut.
Meski begitu, pertumbuhan dan produksi tanaman padi dengan teknik ini––dalam kesimpulan jurnal penelitan Armaeni itu––tidak lebih tinggi ketimbang tanaman padi yang ditanam secara konvensional (media tanah).
Lalu, yang menjadi tantangan berikutnya ialah kapasitas pertanian tanaman padi itu sendiri. Apakah hasil pertanian padi dengan teknik hidroponik ini dapat mencukupi jumlah kebutuhan beras kita?
Bila tidak, kita masih dapat menutupi kekurangan jumlah tersebut dengan cara menanam tanaman karbohidrat lainnya yang memiliki dimensi wadah tanam yang lebih kecil, akan tetapi dengan jumlah produksi yang lebih besar.
C. Mengalihfungsikan Lahan Nonproduktif Menjadi Lahan Pertanian
Selanjutnya, upaya yang dapat kita lakukan terkait persoalan seumpama tak ada lagi lahan pertanian ialah mengubah lahan nonproduktif menjadi lahan pertanian.
Hal ini terbilang cukup sulit ketimbang dua cara sebelumnya. Bagaimana bisa demikian? Sebab, kita harus memutar otak untuk melakukannya, contohnya yaitu ketika memanfaatkan lubang-lubang bekas aktivitas pertambangan sebagai lahan pertanian.
Maria Lusia, Dessy Tri Astuti, dan Ahmad Sofian telah menuliskan hasil kajian literatur mereka terkait contoh barusan melalui jurnal penelitian yang terbit pada bulan Juni 2023 di Klorofil, Vol. 18, No. 1.
Di jurnal penelitian dengan tajuk “Kajian Pemanfaatan Lahan Reklamasi Pasca Tambang Sebagai Lahan Pertanian” itu, mereka menyebutkan bahwa diperlukan waktu yang lama agar lahan reklamasi bekas kegiatan pertambangan dapat dipergunakan sebagai lahan produktif untuk bertani.
Selain itu, hasil kajian mereka juga memperlihatkan bahwa tingkat kesuburan lahan-lahan yang telah direklamasi tersebut––lahan reklamasi bekas tambang nikel, emas, batu bara, dan timah––sama-sama rendah.
Meski hasil kajian literaturnya begitu, tetap saja masih ada kabar baiknya. Untungnya, lahan reklamasi bekas tambang batu bara––dalam simpulan kajian literatur Maria, Dessy, dan Ahmad itu––terlihat lebih berpotensi untuk digunakan bertani karena memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi ketimbang tiga lahan reklamasi lainnya.
Kalau dipikir-pikir lagi, pilihan yang ketiga ini kemungkinan besar cukup ribet untuk dilakukan. Jadi, Anda mau milih opsi yang mana?
Komentar
Posting Komentar