Saut Situmorang: Penyair Favoritku

Di zaman yang serba repot begini, mendengarkan puisi agaknya kalah populer jika dibandingkan dengan bermain judi online. Biar begitu, masih ada saja orang yang mau memperdengarkannya.

Kukira, memang di zaman yang serba repot seperti inilah malahan lebih enak menyantap puisi.

Ketika menikmati sebuah puisi, aku merasa asyik dan sedih sendiri, terkhusus saat menyantap puisi-puisi dengan tema perjuangan kelas dan ketidakadilan.

Sebetulnya, tak banyak puisi yang tinggal di ingatanku. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya mungkin tidak lebih banyak daripada jumlah jari di kedua tanganku.

Boleh dikatakan, aku bahkan tak tahu betul karya sastra seperti apa yang dikatakan puisi itu. Boleh jadi, apa yang dulu kuanggap puisi, eh, rupanya-rupanya bukan puisi.

Untunglah—pikirku—aku sempat melihat potongan video seseorang yang sedang membaca puisi di Instagram. Bila kau berkenan membaca tulisan ini lebih jauh lagi, orang itu adalah Saut Situmorang.

Di video itu, ia sedang membacakan puisinya yang bertajuk "Negeri Terluka". Dikarenakan sedikitnya referensiku atas "sastra Indonesia", awalnya, kupikir Saut ini merupakan seorang aktivis sosial.

Soalnya, dari video itu, kulihat tangannya bertato dan rambutnya gondrong, terlebih lagi saat itu ia sedang melantunkan bait-bait perjuangan.

Penampakan sosok yang beginian jelas berbeda sekali dengan gambaran seorang penyair di dalam benakku yang terkesan rapi dan romantis seperti Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.

Namun, inilah gaya khas Saut: celana pendek, kaos oblong, tato, rambut gondrong, dan tak lupa pula dengan sebotol birnya.

Asal kautahu, Saut ini ternyata orang Sumatera Utara asli. Walaupun ia pernah tinggal lama di luar negeri dan kemudian berdomisili di Pulau Jawa, akan tetapi logatnya tetap tak berubah.

Hal yang demikianlah yang membuatku benar-benar terhubung dengan yang diocehkannya di puisinya itu, tentunya termasuk juga dengan isinya. Bisa dibilang, mendengar puisinya itu laksana sedang mendengarkan percakapan sehari-hari orang-orang di sekitarku.

Selain itu, aku merasa bahwa dengan mengikuti kehidupan Saut, misalnya melalui wawancara, seminar (kelas) daring, kegiatan diskusi buku, esai, dan puisinya, aku jadi selangkah lebih dekat dengan gerbang pertama "sastra Indonesia" beserta polemiknya.

Sebagai penutup, izinkanlah aku untuk mengutip potongan salah satu puisi buatan Saut yang menjadi favoritku. Maka dari itu, marilah kita renungi bersama-sama potongan puisi tersebut sambil menikmati zaman yang serba repot begini.

"Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman karena tak ada lagi hutan dan sawah!"

Potongan puisi "Negeri Terluka" karya Saut Situmorang (Jogja, Desember 2014)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon