Rupiah Pertama dari Menulis

Dalam kehidupan, tujuan hidup merupakan hal yang paling penting, bahkan ada orang yang rela mempertaruhkan hidupnya demi mencapai suatu tujuan tertentu. Celakanya, di usia yang tak lagi remaja ini, malahan saya tidaklah begitu.

Kebanyakan orang—sepanjang pengetahuan saya—setidaknya sudah menetapkan tujuan hidupnya semenjak mereka duduk di bangku sekolah menengah atas, lebih-lebih lagi mereka juga memetakannya secara gamblang. Hal yang demikian agaknya jauh berbeda dengan laku hidup saya.

Hingga kini, saya sendiri masih merasa kesulitan dalam menentukan ke arah mana kapal yang disebut dengan "kehidupan" ini akan berlabuh, tentunya di luar dari tujuan penghambaan sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Jika menengok posisi kapal teman-teman lain yang dulunya satu dermaga sama saya, kelihatannya, arah melaut mereka sangat jelas dan amat meyakinkan.

Beruntunglah—dalam hati saya—saya pernah mengenal dan mendengarkan cerita-cerita mereka.

Kendati hanya bisa melihat pertualangan mereka dari media sosial saja, akan tetapi senang pula rasanya saat berkesempatan memandangi kecemerlangan mereka ketika mengemudikan kapalnya.

Lantas, saya pun mulai menerka-nerka: "apa bekal utama yang membersamai kecemerlangan perjalanan tersebut?" dan "apakah saya juga membawa bekal-bekal yang serupa?"

Oleh karena itu, sampailah saya di tiga kemungkinan yang mungkin dimiliki mereka, di antaranya adalah sikap yang optimistis, tak mudah menyerah, dan berani menanggung risiko alias bertanggung jawab.

Saya pikir, ketiga pondasi inilah yang mesti saya punyai sembari menentukan destinasi yang hendak dituju.

Setelah mengetahuinya, mau atau tidak mau, perlahan-perlahan saya kumpulkan ketiga bekal itu agar petualangan yang saya lakukan tak sarat arah, dalam hal ini yakni perjalanan menjadi penulis.

Selaku seseorang yang mencoba berlabuh di lautan kepenulisan, dalam praktiknya, ketiga bekal di atas memang sangat membantu aktivitas tulis-menulis yang saya lakukan.

Mengapa seperti itu? Karena, menurut hemat saya, kalau saya tidak optimis, maka saya akan berhenti menulis di detik ini juga.

Saya percaya bahwa tulisan saya, walaupun terkadang tidak penting-penting amat bagi kehidupan praktis umat manusia, paling tidak ia boleh jadi merupakan salah satu pertinggal saya di muka bumi ini.

Di lain sisi, bila saya gampang menyerah, maka tulisan kali ini pun tak akan pernah benar-benar menghampiri Teman-Teman sekalian.

Kedua sikap ini—gelagat optimistis dan tak mudah menyerah—seyogianya adalah kunci kesuksesan segala macam urusan.

Walhasil, dari beberapa tulisan yang sempat saya buat, berkat rahmat Sang Pencipta, ada juga tulisan saya yang menghasilkan. Meski nominalnya tidak terlalu besar, saya rasa saya sangat puas dengan proses yang telah saya lalui.

Berhubungan dengan hal tersebut, saya mengucapkan terima kasih kepada GoTo Impact Foundation yang telah mengadakan kegiatan "Open Ideas Challenge" dan memberikan apresiasi dalam bentuk materiel kepada saya sehingga saya masih bisa menikmati kopi sanger di Kopijon.

Sedikit cerita, di dalam kegiatan tersebut, saya menulis dan mengajukan semacam proposal atau makalah dengan topik pendayagunaan koperasi.

Dengan tajuk yang sama, yaitu "Mendayagunakan Koperasi Berbasis Ekonomi Kerakyatan Ala Mohammad Hatta guna Mengatasi Masalah Harga Pangan yang Mahal", Teman-Teman dapat melihat garis besar tulisan tersebut di sini (halaman kedua).

Pencapaian ini kemudian turut saya jadikan sebuah pemantik untuk mengobarkan api semangat kepenulisan saya supaya saya terus-menerus membaca dan menulis.

Jika demikian adanya, maka perjalanan menuju lautan kepenulisan yang sedang saya lakukan sekarang ini, siap atau tidak siap, harus saya selesaikan bagaimanapun caranya, sekuat apa pun ombaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vest-Backpack: Semacam Rompi Dwifungsi

Semacam Prakata

Ngopi di Kopijon